Merindukan Ayah


01 Juni 2022


Tentang seorang anak gadis bernama Zahra yang sangat merindukan ayahnya


Hari ini tepat tiga tahun 10 bulan tidak lagi bersua. Semoga rindu tersampaikan lewat angin sepertiga malam yang senantiasa kudengungkan. Jangan khawatir, Yah. Ibu dan adik baik. Demikian pula denganku, si sulung. Allah Maha Baik. Semoga selalu damai di sana, aamiin.


Pagi sekali, entah mengapa diri terbangun begitu saja. Seperti panggilan rutin dari Sang Pencipta. Siapa yang meminta maka akan dituruti-Nya. Lantas bagaimana bisa diabaikan begitu saja?


Berhenti menyesuaikan diri dengan cahaya lampu temaram, aku meneguk segelas air mineral. Lalu langkah kakiku keluar kamar mengambil air untuk bersuci. Tidak lama kemudian kembali dan menggelar sajadah kesayangan. Penuhi panggilan yang merindu akan cerita dan permintaan hamba-Nya. Maha Baik Dia, sungguh. Tiada dua, tiada tiga. Dia Maha Esa. Dialah yang tunggal pengabul segalanya.


Tepat saat adzan subuh berkumandang. Bergegaslah aku menunaikan dua rakaat wajib. Kata ayah, Allah amat menyayangi hamba-Nya yang tiada lalai dalam solat. Lagi pula untuk apa menunda kewajiban? Justru melulu terbuai dengan urusan duniawi. Melupa ya bahwa hanya kepada-Nya diri ini kelak kembali?


"Zahra,"ayah memanggilku lembut

"Udah bangun?" Dia bertanya retoris

"Udah yah,dari tadi." Jawabku pada ayah

"Cepat mandi lalu sekolah sudah siang ini" 

"Iyah baik yah" jawabku sembari beranjak untuk mandi 


Pukul 06.45 WIB bel masuk telah berbunyi. Guruku yang ini kelewat rajin. Sepuluh menit sebelum waktunya, beliau sudah duduk manis di meja guru. Kata beliau supaya waktu belajarnya tidak terbuang sia-sia. Selesai berdoa, peperangan sesungguhnya dimulai. Apalagi kalau bukan hafalan bahasa arab sih? Anak Mts sepertiku bisa apa?


Satu per satu dipanggil untuk menyetorkan hafalan dan diakhiri dengan menjawab beberapa pertanyaan dari guru. Dua jam pelajaran berlalu, hampir separuhnya sudah lega. Tentu karena mereka sudah maju. Kelas ramai betul, guru pengampu sampai pijit-pijit dahinya yang mulai dipenuhi kerutan.


Bel pulang pun tiba aku bergegas pulang ke rumah karna aku ingin melihat pertandingan bola ayahku di lapang desa. Namun ketika di perjalanan ada chat whatsAp masuk 


"Kamu dimana? Ayah kamu drop, cepat kesini sekarang"


Awalnya aku kira itu hanya bercanda, karna ayahku yang tadi pagi masih sehat dan sempat membangunkanku. Ternyata itu benar. Setibanya aku di lapang ayah sudah di bawa oleh ambulance.


Ketika hendak mengejar ambulance itu, Paman menepuk-nepuk pelan bahuku. “Yang sabar ya, Put.”


Apa maksudnya? Kenapa aku harus sabar?


Kemudian teringatlah suatu perkara. Kaki total lemas tidak berdaya kalau mengingatnya. Kamu dimana? Ayah kamu drop.


-


"Ayah,” panggilku kemudian memeluk erat tubuh kakunya. Mustahil kalau tangisku tidak pecah. Manusia mana yang mampu menahan kerapuhannya. Terlebih lagi ketika ditinggal si pahlawan kesayangan. Sosok yang selama ini selalu dibanggakan di depan teman-teman. Yang paling kokoh diterpa badai apa pun. Yang paling tangguh diterjang ombak mana pun. Yang berarti segalanya bagi si keluarga kecil, terlebih aku, si sulung.


Acap kali ketika masih sekolah dasar, si sulung ini menangis mengadu pada ibu.


“Ibu, ayah kapan punya waktu luang?”


“Memang kenapa sayang?”


“Ibu tahu Shifa? Dia tadi diantar ayahnya loh naik motor. Lucu sekali soalnya dia duduk di depan, Bu. Shifa juga cerita kalau kemarin dia jalan-jalan ke Ramayana, terus Shifa dibelikan baju dan mainan sama ayahnya. Pokoknya besok kalau Ayah pulang, kita juga harus gitu ya, Bu!”


Begitu terus entah sampai berapa ratus kali aku merengek. Jawaban dari ibu bahkan aku masih hafal hingga sekarang. “Iya, iya. Besok ya kalau Ayah ga sibuk kita jalan-jalan sepuasnya.”


Namun anganku itu terhembus angin begitu saja. Ayah terlampau sibuk dengan urusan kerjaannya. Urusi ini-itu tidak tahu waktu. Gila kerja memang.


Sekarang, semua itu hanyalah tinggal memori. Allah lebih sayang ayah. Kata ibu, Allah bakal panggil ciptaan-Nya yang sudah cukup berjuang. Dan ayah sudah lebih dari sekadar kata berjuang, menurutku. Sekarang waktunya ayah benar-benar istirahat. Tidak ada lagi deringan telepon yang mengharuskan beliau mau tidak mau kembali ke kantor urusi ini-itu. Tidak ada lagi janji yang wajib ditepatinya kepadaku. Kalau ada yang bilang janji adalah hutang, maka sekarang waktunya kuanggap hutang itu lunas.


Hari ini ayah pulang. Tidak hanya pulang ke rumah, tapi juga pulang ke pangkuan Yang Maha Kuasa.


takdir berkata lain. Jalan hidup manusia sudah dilukiskan bahkan jauh hari sebelum alam semesta diciptakan. Sekitar pukul 19.00 WIB ayah dinyatakan tidak ada. Ibu terduduk lemas, begitu pula dengan aku. Kacau benar pagi itu. Bebe tidak tahu harus bagaimana. Tanteku itu hanya bisa berkata, “Sabar ya, Tan,Zah, kakak sudah tenang di sana.”


Ya memang benar kata bebe, ayah sudah tenang di sana. Ayah orang baik, terlampau baik malah, pasti di sana juga diperlakukan dengan baik. Apalagi Allah Maha Baik, mana tega ciptaan-Nya dibiarkan menderita begitu saja.


Tidak menunggu lama, diurusilah segala keperluan pemakaman itu. Ayah dimandikan, dikafani, dan disalati. Orang-orang datang silih berganti mengucap salam berduka dan doa. Tidak sedikit pula yang menyemangati kami agar tidak terus larut dalam kesedihan. Namun, ya bagaimana lagi? Ibarat sedang berlayar kemudian kehilangan nahkoda. Pasti tidak karuan rasanya kan?


Yang terjadi berikutnya adalah mengantar ayah ke tempat barunya, tepat di belakang rumah. Tanganku bergetar hebat yang kemudian di kuatkan oleh saudara - saudara ku, yang menautkan jari ku seakan mengisyaratkan, " jangan nangis Ra, itu malah menambah beban ayah. Lepaskan,ikhlaskan, kamu harus kuat, masih banyak orang yang sayang sama kamu!.


Puncak tangis itu justru semakin pecah di depan makam bertuliskan nama ayah dengan nisan sederhana. Aku memeluk nisan itu kuat - kuat dan berbisik, "Yah, Zahra sayang ayah" seakan beliau akan kembali dan membalas pelukanku kemudian menjawab, "iya, ayah juga sayang Zahra".


Aku menyadari bahwa kehilangan paling berat itu adalah kehilangan seorang panutan di hidupnya yang tak akan pernah kembali. Pahlawan kesayangan sekaligus idola pertamanya, terlebih bagi anak gadis sepertiku. Tidak ada yang bakal sanggup menggantikan posisi itu, sekalipun seorang suaminya kelak. Cinta antara ayah dan anaknya itu beda, terlampau istimewa malah. Kisah antara Dilan dan Milea saja kalah.



01 Agustus 2018

Hari ini satu sayapku patah, sudah waktunya dikembalikan kepada Allah. Ada seseorang yang tadi berkata, “Sedih itu boleh tetapi jangan berlarut-larut hingga kalut, ayah jadi ga tenang di sana, Ra.” Benar juga. Ayah sudah tenang, jadi jangan menambah beban bagi beliau di sana. JIka rindu datang membelenggu, aku coba sampaikan lewat angin sepertiga malam dan doa setiap waktu. Allah ga pernah tidur, aku ceritakan semuanya pada Tuhanku itu. Pesan ibu, “Jika kamu beriman, maka ikhlaskan, lepaskan. Percayakan semuanya kepada Sang Khalik, Sang Pencipta. Pasti ada pelangi indah pasca turunnya hujan.” Maka dengan ini aku bertekad dalam hati untuk kembali menjadi seorang Putri yang kuat, jadi, semangat, Ra!

-----------

Karya : Nurnisa F

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Merindukan Ayah"

Posting Komentar