Bertemu kembali untuk berpisah


Namaku, Ario. Umurku, 19 tahun dan kini aku masih tinggal di panti asuhan dengan ibu Rumi sebagai pemiliknya.


Hari ini... minggu pagi seperti biasa aku akan pergi berkeliling untuk menjual kue. Setelah dirasa semua barang jualan sudah siap, aku berpamitan kepada ibu Rumi.


"Ibu... Rio mau berangkat. Do'ain, ya. Semoga dagangan Rio har ini laris-manis." Ucapku, seraya menggenggam tangan hangat bu Rumi.


"Iya, Yo. Kamu hati-hati, ya. Kalo capek, istirahat dulu. Jangan dipaksain." Pesan bu Rumi.


"Iya, bu. Yaudah. Pamit, ya. Assalamu'alaikum."


"Wa'alaikumsallam."


Setelah itu, aku pergi dari sana setelah lebih dulu mencium punggung tangan bu Rumi.


°°°


Aku menghentikan langkahku kala melihat taman yang tampak ramai akan pengunjung. Setelah meminta izin pada petugas yang ada, akhirnya aku memutuskan untuk memaparkan semua daganganku disini.


"Ini apa, bang?"


Seorang anak kecil tiba-tiba datang menghampiriku.


"Ini? Ini kue. Adek mau?" Tawarku pada anak itu yang langsung mengangguk dengan semangat seraya menyodorkan tangannya.


"Adek mau yang mana?"


"Yang itu." Tunjuknya pada kue bolu yang aku cetak berbagai bentuk.


"Ini. Dimakan, ya. Jangan dibuang." Ucapku seraya menyodorkan kuenya.


"Siap, kapten!" Seru anak itu lalu menerima kuenya dan langsung duduk disampingku.


"Enak gak kue, nya?" Tanyaku. Lagi-lagi anak itu hanya menganggukan kepalanya saja.


"Permisi, kak." Ucap seseorang. Aku menoleh ke arah depan dan melihat gadis kecil yang tengah menatap ke arahku.


"Kenapa, dek?"


"Ini." Anak itu menyodorkan sebuah kertas padaku.


"Ini apa?" Tanyaku.


"Kertas." Jawab gadis kecil itu.


"Dari siapa?" Tanyaku lagi.


Gadis itu tampak menggelengkan kepalanya pelan. "Aku nggak boleh kasih tau."


"Oh, yaudah. Makasih, ya." Ucapku, tersenyum lembut. Gadis kecil itu mengangguk kemudian berlalu pergi.


Tanganku tergerak untuk membuka lipatan kertas itu. Namun, belum sempat aku membukanya, beberapa orang datang membuat aku mengurungkan niat itu.


Sampai beberapa saat kemudian, aku selesai dengan kegiatanku. Karena melihat kue yang kini tinggal sedikit, aku memutuskan untuk langsung pulang saja. 


Dan kini aku telah siap untuk pulang setelah terlebih dahulu membereskan sisa daganganku.


"Abang mau kemana?" Tanya Bana, anak kecil yang sedari tadi duduk disampingku.


"Mau pulang. Kamu mau ikut?" Tanyaku, basa-basi.


Bana mengangguk. Tak ku sangka, jawaban itu akan ia berikan padaku.


Aku berjongkok menyamakan tinggiku dengan Bana. "Kamu disini sama siapa? Sama mama papa kamu, kan?"


"Aku sendiri." Jawab Bana.


Aku terdiam menatap Bana lama. Membuat anak itu menunduk takut. "Hey!"


"Bana mau ikut sama Abang? Tinggal dirumah abang sama temen-temen yang lain, mau?"


Anak itu mengangkat kepala, menatapku.


"Temen-temen?"


Aku mengangguk. "Iya, temen-temen. Nanti Bana bakal punya temen, karena dirumah abang banyak anak kecil kayak Bana. Mau?" Tawarku lagi.


"Mau-mau!" Seru anak itu dengan semangat.


Beberapa saat kemudian, kami sampai di panti. Pada awalnya, bu Rumi terheran kala melihat aku pulang bersama anak kecil lain. Namun, setelah aku menjelaskan kepada beliau, akhirnya beliau mengerti dan bersedia menjaga Bana, layaknya anak-anak yang lain.


Saat ini aku baru saja selesai bersih-bersih setelah kembali dari taman tadi.


"Bang Iyo, ini punya siapa?" Tanya Bana ketika melihatku baru saja keluar dari kamar mandi.


Aku menoleh, melihat benda yang Bana tunjukan. Sebuah kertas. Ternyata itu, kertas yang sedari tadi aku cari.

Aku segera mengambil kertas itu dari tangan Bana. "Bana nemu ini dimana?"


"Disitu." Tunjuknya pada bawah tempat penyimpanan baju kotor.


"Oh. Makasih, ya. Ini kertas abang." Ucapku lalu bergegas memakai baju. Setelah selesai, dengan rasa penasaran yang kembali hadir, akhirnya aku membuka lipatan kertas itu.


Setelah membaca isi kertas itu, satu hal aku tau. Surat ini dikirim oleh orang yang sama dengan orang yang selalu mengirimkan aku surat. Sesuai dugaanku. 


Didalam surat itu tertulis jika aku ingin tahu siapa orang itu, maka aku harus menemuinya di taman, besok pagi tepat pada pukul 07:30.


Sebelum memutuskan untuk menemuinya atau tidak, aku terlebih dahulu pergi ke kamar ibu untuk menceritakan semua ini dan meminta sarannya. Sampai pada akhirnya, ibu memintaku untuk menerima ajakan itu.


***


Kembali lagi ke pagi. Kini aku telah sampai di taman untuk menemui seseorang yang entah siapa itu.


"Ari."


Mendengar suara lembut itu, aku berbalik badan guna melihat orang yang memanggilku dari arah belakang. Disana, aku dapat melihat orang itu. Ternyata dia, dia yang selama ini selalu mengirimkan surat berisi kata-kata merindu itu.


Disya. Gadis itu pelakunya. 


Dia mendekat ke arahku. "Ari?" Panggilnya lagi, ketika berada dihadapanku. 


Aku bergeming. Kembali tak menghiraukan panggilan itu lagi dan hanya diam menatap wajahnya.


"Ario? Please, jangan diem aja." Ucap gadis itu dengan sedikit mengeraskan suaranya.


"Disya? Kamu udah sembuh?" Tanyaku.


Gadis itu menganggukan kepala. "Hm. Aku udah sembuh, Ar. Kamu seneng?"


"Dan kamu kembali lagi?" Tanyaku lagi.


"Iya. Kamu seneng kan, Ario?" Ucap Disya lagi.


Aku terdiam sejenak lalu menggelengkan kepala pelan.


"Ar? Kamu nggak seneng?" Tanya gadis sedikit terkejut.


"Iya, Sya. Aku nggak seneng karena saat ini aku masih sama kayak dulu. Anak panti yang kerjanya cuma bisa jualan kue keliling. Masih sama kayak yang diucapin sama papa kamu dulu. Aku belum berubah, Sya."


"Ar. Soal itu, papa nggak akan permasalahin lagi, dan kita bisa kembali walau dengan keadaan kamu yang masih sama kayak dulu."


Aku terdiam menatap gadis dihadapanku, kemudian berucap. "Nggak, Sya. Aku tetep nggak bisa."


"Ke-kenapa?"


"Aku nggak mau kembali ke kamu dengan keadaan kayak gini. Suatu saat, aku pasti kembali ke kamu, kalau kehidupan aku udah nggak kayak gini lagi."


"Ario. Itu ngga-"


"Kamu percaya sama aku kan, Disya?" Tanyaku cepat.


Gadis itu menunduk. Terdiam cukup lama. Sampai akhirnya, ia menganggukan kepala, tanda mengiyakan.


"Sya? Liat aku. Kamu beneran percaya sama aku, kan? Kamu mau tungguin aku?" Tanyaku lagi, dan ia hanya menganggukan kepala.


"Kalau gitu, mulai sekarang kamu nggak usah kirimin aku surat lagi, ya. Kasian tangan kamu pegel kalo harus terus-terusan nulis surat buat aku. Untuk saat ini, kita jangan komunikasi dulu. Ya?"


"Ta-tapi..." 


"Kamu percaya sama aku, Sya. Aku janji, suatu saat aku bakal dateng ke rumah kamu sama ibu. Dan aku pasti akan berusaha keras untuk tepatin janji itu." Ucapku, meyakinkan.


"Yakin, ya? Mau tungguin aku?" Tanyaku lagi, memastikan.


"Iya. Aku percaya dan bakal tungguin kamu."


And, kata itu merupakan kata terakhir itu aku dengar dari mulut Disya.


-------------

Karya : Patmawati

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Bertemu kembali untuk berpisah"

Posting Komentar